Sumber foto: http://old.tehrantimes.com |
Para
psikolog, pendidik, maupun praktisi pengembangan potensi anak melalui bermain rupanya
patut berterimakasih kepada Plato. Menurut sejumlah referensi, seorang filsuf
Yunani itu dianggap telah meletakkan dasar pemahaman tentang dunia bermain anak.
Terutama soal manfaat dan arti penting penerapannya. Di benak Plato, anak-anak
akan lebih mudah menerima pelajaran yang disampaikan melalui metode bermain dan
mengedepankan sisi kepraktisan. Sebagai contoh, saat mengajarkan penambahan dan
pengurangan, anak-anak akan lebih mudah menyerap inti pelajarannya apabila
menggunakan buah tertentu sebagai alat bantu (Mayke S. Tedjasaputra, 2001: 1). Metode
bermain berupaya “membangunkan” aspek psikis anak sehingga bisa lebih cepat
menangkap apa yang muncul di hadapannya. Bermain juga membuat anak lebih
terdorong dalam mempelajari dan mengembangkan apa saja hal yang mestinya mereka
ketahui sejak duduk di bangku sekolah.
Sejak
dulu, para psikolog dan praktisi pengembangan potensi anak telah memaparkan
pendapatnya tentang berbagai manfaat bermain pada anak. Baik yang mencakup
aspek fisik, jiwa, maupun emosional. Secara lebih sederhana, berikut rangkuman
beberapa manfaat bermain pada anak yang berhasil disarikan dari sejumlah
referensi;
a) Bermain baik bagi perkembangan dan kesehatan
tubuh anak
Melalui
bermain, anak dapat menggerakkan seluruh anggota tubuhnya. Dengan begitu, aliran
dan sirkulasi darah anak menjadi lebih baik, termasuk ke kelenjar saraf dan
otaknya. Pergerakan anggota tubuh tentu membuat anak relatif lebih sehat dan
kuat. Lebih jauh dari itu, anak merasa mendapatkan wadah untuk menyalurkan
energinya secara tepat.
b) Berpotensi merangsang kecerdasan
sosial anak
Ketika
bermain dengan sejumlah teman dalam suatu kelompok, setiap anak tentu dituntut
mampu memahami anak-anak yang lain. Itu artinya, melalui bermain anak dituntut belajar
berinteraksi secara baik dengan sesamanya; memahami karakter dan watak orang
lain. Bila interaksi antaranak terjalin baik, tentu kegiatan bermain akan
berjalan baik pula. Jika tidak, maka justru sebaliknya. Semakin anak berusaha
memahami orang-orang di sekelilingnya (kelompoknya), maka semakin terbentuk pula
kemampuan dan kecerdasan bermasyarakatnya. Melalui bermain, anak juga dapat
belajar lebih jauh tentang sistem nilai, kebiasaan-kebiasaan, serta standar
moral yang di-“anut” oleh lingkup pergaulannya.
c) Memantapkan aspek emosi atau
kepribadian anak
Bermain
merupakan wadah yang tepat bagi anak untuk mengekspresikan diri dan kebebasan
berpikirnya. Bermain membuat anak jauh dari kesan tertekan dan terkekang. Tanpa
disadari, suasana senang dan penuh hiburan membuat anak mengeluarkan segala
bentuk ekspresi jiwa dan emosinya. Inilah yang kemudian mendasari anak bisa
lebih percaya diri dalam membuat setiap penilaian tentang dirinya; memupuk
kepercayaan diri. Pembentukan emosi dan kepribadian yang mantap akan melahirkan
konsep optimisme, cikal bakal pembentukan harga diri, maupun peningkatan rasa
empati terhadap lingkungan sekitar. Manfaat yang ketiga ini, sangat erat
kaitannya dengan tujuan pembentukan sikap jujur, kemurahan hati, ketulusan,
kebesaran jiwa, serta juga kemampuan bekerja sama anak.
d) Merangsang perkembangan aspek
kognisi anak
Dalam
rentang usia pertumbuhan anak, perkembangan aspek kognisi tentu sangat perlu
diperhatikan. Aspek kognisi tersebut mencakup daya nalar, kemampuan berbahasa
(verbal dan nonverbal), daya cipta atau kreativitas, maupun daya ingat. Nah, mengajarkan
aspek kognisi pada anak tentu tidak dengan metode belajar yang serius atau
bahkan terkesan kaku. Karena, anak akan relatif tertekan sehingga tidak bisa
menikmati sekaligus menyerap materi yang diajarkan guru tentang kognisi
tersebut. Cara terbaik adalah dengan mengajak anak bermain. Melalui bermain, sejumlah
aspek kognisi akan terbentuk dalam diri anak secara inherent. Bermain berkelompok
misalnya, berpotensi mendongkrak daya nalar dan kreativitas anak. Dalam suatu
kelompok, anak dituntut mampu memahami kebutuhan proses dan tuntutan pencapaian
orang-orang di sekelilingnya. Di sinilah daya nalar dan kreativitas anak tadi
berusaha “dipacu” oleh sistem atau suatu aturan permainan yang diterapkan.
Lalu
bagaimana dengan “kekuatan” bermain? Mengacu pada pengertian bermain di dalam
buku Essay on Laughter (James Sully dalam Millar, 1972) dijelaskan bahwa
perilaku tertawa lepas adalah salah satu bukti dari suatu aktivitas bermain.
Tertawa menandakan luapan emosi seseorang ketika merasa menikmati permainannya
dengan beberapa orang atau teman. Singkatnya, orang yang bermain akan tampak
selalu tertawa riang. Sekalipun seseorang ikut bermain dalam suatu kelompok,
tapi tanpa menunjukkan ekspresi riang atau tertawa lepas, maka orang tersebut
tidak dapat dikatakan sedang bermain. Dalam pengertian lebih lanjut, bermain
juga diorientasikan untuk memperoleh kesenangan atau hiburan semata. Artinya,
bermain sejatinya tidak dilandasi motivasi untuk meraih suatu kemenangan,
prestasi, atau bahkan nilai materi. Bermain cenderung menekankan pada proses
yang dijalani ketimbang hasil yang akan diraih di tahap akhir. Sampai di situ, kiranya
bisa dipahami bahwa bermain sangat mumpuni dalam menciptakan rasa senang,
riang, maupun semangat meluap-luap dalam diri seseorang, termasuk anak.
Bermain
memiliki kaitan erat dengan aspek psikologis seseorang. Disadari atau tidak,
bermain mampu menggugah kondisi psikologi atau kejiwaan seseorang. Ketika
benar-benar menikmati suatu permainan, setiap orang akan mengeluarkan segala
bentuk energi positif dari dalam dirinya. Energi positif tersebutlah yang
kemudian difokuskan untuk memecahkan setiap tantangan dalam arena bermain.
Lebih
jauh, bermain sebetulnya bisa dikatakan sebagai salah satu metode “terapi” yang
efektif bagi pengembangan mental dan kemampuan diri anak. Bermain, melalui
konsepnya yang ringan, sarat hiburan, dan “cair” mampu menggali setiap
kemungkinan potensi diri anak, bahkan hingga menemukan suatu bakat yang tidak pernah terlihat sebelumnya. Itulah
bermain, aktivitas yang jauh dari kesan serius namun mampu memberikan efek yang
sangat serius pula bagi setiap orang atau kelompok yang melakoninya, termasuk
bagi mereka para anak yang masih dekat dengan kegiatan bermain.
Penting Bagi Para Guru dan Orangtua
Dunia
atau lingkungan kegiatan anak umumnya berada pada dua “kuadran” utama, yaitu
sekolah dan keluarga/lingkungan sekitar rumah. Itu artinya, guru di sekolah dan
orangtua di rumah berperan besar dalam upaya pembentukan mental dan sejumlah
aspek diri anak. Masing-masing figur tersebut mesti bertanggung jawab terhadap
proses pendidikan dan pembentukan diri anak. Guru di sekolah sejatinya tidak
hanya memberikan pengetahuan formal dan kebutuhan intelektual semata kepada
anak, tapi juga ikut membentuk sikap, mental, moral, dan cara berpikir anak.
Demikian juga orangtua, tidak hanya berhenti pada tugas pemenuhan kebutuhan
materi dan biaya sekolah di masa depan, tapi juga sejak dini harus menanamkan
beragam nilai-nilai kehidupan, prinsip, dan cita-cita hidup di masa depan.
Kembali
pada pemahaman Plato yang menjelaskan bahwa anak-anak relatif lebih tertarik dalam
menerima apa pun yang diajarkan padanya melalui metode bermain. Itu artinya, guru
di sekolah tidak harus terpaku pada metode belajar tekstual dan penjelasan
kepada para muridnya. Apalagi ketika menyampaikan soal pembelajaran mental,
etika, sikap, maupun moral―yang mungkin bagi kebanyakan anak akan terasa sangat
membosankan ketika disampaikan dengan metode belajar monoton. Demikian juga
para orangtua di rumah, menanamkan sejumlah nilai dan prinsip hidup pada anak
tentu tidak harus melulu dengan metode nasihat satu arah. Selain berpotensi
membosankan, juga akan memunculkan sindrome “resisten” alias “kebal” pada anak
terhadap substansi nasihat yang disampaikan.
Berangkat
dari pemahaman di atas, kiranya para guru dan orangtua bersedia menerapkan
metode bermain pada anak-anak mereka sesekali waktu. Di sekolah misalnya,
kenapa tidak guru mengajak anak-anak di ruangan belajar tempatnya mengajar
untuk bermain bersama pada sesi pelajaran tertentu. Intinya, agar anak-anak didik
lebih menyiapkan mental dan kemauan belajarnya. Kemudian di rumah, tidak ada
salahnya jika para orangtua menerapkan sejumlah permainan mendidik pada
anak-anak mereka―bila perlu melibatkan anak-anak lingkungan sekitar. Melalui
bermain, semoga beberapa substansi nasihat yang ingin disampaikan lebih
“mendarat” mulus di benak si anak.
0 komentar:
Posting Komentar