Jumat, 16 September 2011

Kenapa Anak Harus Kita Ajak Bermain?

Sumber foto: http://old.tehrantimes.com
Para psikolog, pendidik, maupun praktisi pengembangan potensi anak melalui bermain rupanya patut berterimakasih kepada Plato. Menurut sejumlah referensi, seorang filsuf Yunani itu dianggap telah meletakkan dasar pemahaman tentang dunia bermain anak. Terutama soal manfaat dan arti penting penerapannya. Di benak Plato, anak-anak akan lebih mudah menerima pelajaran yang disampaikan melalui metode bermain dan mengedepankan sisi kepraktisan. Sebagai contoh, saat mengajarkan penambahan dan pengurangan, anak-anak akan lebih mudah menyerap inti pelajarannya apabila menggunakan buah tertentu sebagai alat bantu (Mayke S. Tedjasaputra, 2001: 1). Metode bermain berupaya “membangunkan” aspek psikis anak sehingga bisa lebih cepat menangkap apa yang muncul di hadapannya. Bermain juga membuat anak lebih terdorong dalam mempelajari dan mengembangkan apa saja hal yang mestinya mereka ketahui sejak duduk di bangku sekolah.  
             
Sejak dulu, para psikolog dan praktisi pengembangan potensi anak telah memaparkan pendapatnya tentang berbagai manfaat bermain pada anak. Baik yang mencakup aspek fisik, jiwa, maupun emosional. Secara lebih sederhana, berikut rangkuman beberapa manfaat bermain pada anak yang berhasil disarikan dari sejumlah referensi;  
a)   Bermain baik bagi perkembangan dan kesehatan tubuh anak
      Melalui bermain, anak dapat menggerakkan seluruh anggota tubuhnya. Dengan begitu, aliran dan sirkulasi darah anak menjadi lebih baik, termasuk ke kelenjar saraf dan otaknya. Pergerakan anggota tubuh tentu membuat anak relatif lebih sehat dan kuat. Lebih jauh dari itu, anak merasa mendapatkan wadah untuk menyalurkan energinya secara tepat.

b)   Berpotensi merangsang kecerdasan sosial anak
Ketika bermain dengan sejumlah teman dalam suatu kelompok, setiap anak tentu dituntut mampu memahami anak-anak yang lain. Itu artinya, melalui bermain anak dituntut belajar berinteraksi secara baik dengan sesamanya; memahami karakter dan watak orang lain. Bila interaksi antaranak terjalin baik, tentu kegiatan bermain akan berjalan baik pula. Jika tidak, maka justru sebaliknya. Semakin anak berusaha memahami orang-orang di sekelilingnya (kelompoknya), maka semakin terbentuk pula kemampuan dan kecerdasan bermasyarakatnya. Melalui bermain, anak juga dapat belajar lebih jauh tentang sistem nilai, kebiasaan-kebiasaan, serta standar moral yang di-“anut” oleh lingkup pergaulannya.   

c)   Memantapkan aspek emosi atau kepribadian anak
Bermain merupakan wadah yang tepat bagi anak untuk mengekspresikan diri dan kebebasan berpikirnya. Bermain membuat anak jauh dari kesan tertekan dan terkekang. Tanpa disadari, suasana senang dan penuh hiburan membuat anak mengeluarkan segala bentuk ekspresi jiwa dan emosinya. Inilah yang kemudian mendasari anak bisa lebih percaya diri dalam membuat setiap penilaian tentang dirinya; memupuk kepercayaan diri. Pembentukan emosi dan kepribadian yang mantap akan melahirkan konsep optimisme, cikal bakal pembentukan harga diri, maupun peningkatan rasa empati terhadap lingkungan sekitar. Manfaat yang ketiga ini, sangat erat kaitannya dengan tujuan pembentukan sikap jujur, kemurahan hati, ketulusan, kebesaran jiwa, serta juga kemampuan bekerja sama anak.  

d)   Merangsang perkembangan aspek kognisi anak
Dalam rentang usia pertumbuhan anak, perkembangan aspek kognisi tentu sangat perlu diperhatikan. Aspek kognisi tersebut mencakup daya nalar, kemampuan berbahasa (verbal dan nonverbal), daya cipta atau kreativitas, maupun daya ingat. Nah, mengajarkan aspek kognisi pada anak tentu tidak dengan metode belajar yang serius atau bahkan terkesan kaku. Karena, anak akan relatif tertekan sehingga tidak bisa menikmati sekaligus menyerap materi yang diajarkan guru tentang kognisi tersebut. Cara terbaik adalah dengan mengajak anak bermain. Melalui bermain, sejumlah aspek kognisi akan terbentuk dalam diri anak secara inherent. Bermain berkelompok misalnya, berpotensi mendongkrak daya nalar dan kreativitas anak. Dalam suatu kelompok, anak dituntut mampu memahami kebutuhan proses dan tuntutan pencapaian orang-orang di sekelilingnya. Di sinilah daya nalar dan kreativitas anak tadi berusaha “dipacu” oleh sistem atau suatu aturan permainan yang diterapkan.            
           
Lalu bagaimana dengan “kekuatan” bermain? Mengacu pada pengertian bermain di dalam buku Essay on Laughter (James Sully dalam Millar, 1972) dijelaskan bahwa perilaku tertawa lepas adalah salah satu bukti dari suatu aktivitas bermain. Tertawa menandakan luapan emosi seseorang ketika merasa menikmati permainannya dengan beberapa orang atau teman. Singkatnya, orang yang bermain akan tampak selalu tertawa riang. Sekalipun seseorang ikut bermain dalam suatu kelompok, tapi tanpa menunjukkan ekspresi riang atau tertawa lepas, maka orang tersebut tidak dapat dikatakan sedang bermain. Dalam pengertian lebih lanjut, bermain juga diorientasikan untuk memperoleh kesenangan atau hiburan semata. Artinya, bermain sejatinya tidak dilandasi motivasi untuk meraih suatu kemenangan, prestasi, atau bahkan nilai materi. Bermain cenderung menekankan pada proses yang dijalani ketimbang hasil yang akan diraih di tahap akhir. Sampai di situ, kiranya bisa dipahami bahwa bermain sangat mumpuni dalam menciptakan rasa senang, riang, maupun semangat meluap-luap dalam diri seseorang, termasuk anak.    
             
Bermain memiliki kaitan erat dengan aspek psikologis seseorang. Disadari atau tidak, bermain mampu menggugah kondisi psikologi atau kejiwaan seseorang. Ketika benar-benar menikmati suatu permainan, setiap orang akan mengeluarkan segala bentuk energi positif dari dalam dirinya. Energi positif tersebutlah yang kemudian difokuskan untuk memecahkan setiap tantangan dalam arena bermain.
             
Lebih jauh, bermain sebetulnya bisa dikatakan sebagai salah satu metode “terapi” yang efektif bagi pengembangan mental dan kemampuan diri anak. Bermain, melalui konsepnya yang ringan, sarat hiburan, dan “cair” mampu menggali setiap kemungkinan potensi diri anak, bahkan hingga menemukan suatu bakat  yang tidak pernah terlihat sebelumnya. Itulah bermain, aktivitas yang jauh dari kesan serius namun mampu memberikan efek yang sangat serius pula bagi setiap orang atau kelompok yang melakoninya, termasuk bagi mereka para anak yang masih dekat dengan kegiatan bermain.     

Penting Bagi Para Guru dan Orangtua
Dunia atau lingkungan kegiatan anak umumnya berada pada dua “kuadran” utama, yaitu sekolah dan keluarga/lingkungan sekitar rumah. Itu artinya, guru di sekolah dan orangtua di rumah berperan besar dalam upaya pembentukan mental dan sejumlah aspek diri anak. Masing-masing figur tersebut mesti bertanggung jawab terhadap proses pendidikan dan pembentukan diri anak. Guru di sekolah sejatinya tidak hanya memberikan pengetahuan formal dan kebutuhan intelektual semata kepada anak, tapi juga ikut membentuk sikap, mental, moral, dan cara berpikir anak. Demikian juga orangtua, tidak hanya berhenti pada tugas pemenuhan kebutuhan materi dan biaya sekolah di masa depan, tapi juga sejak dini harus menanamkan beragam nilai-nilai kehidupan, prinsip, dan cita-cita hidup di masa depan.
             
Kembali pada pemahaman Plato yang menjelaskan bahwa anak-anak relatif lebih tertarik dalam menerima apa pun yang diajarkan padanya melalui metode bermain. Itu artinya, guru di sekolah tidak harus terpaku pada metode belajar tekstual dan penjelasan kepada para muridnya. Apalagi ketika menyampaikan soal pembelajaran mental, etika, sikap, maupun moral―yang mungkin bagi kebanyakan anak akan terasa sangat membosankan ketika disampaikan dengan metode belajar monoton. Demikian juga para orangtua di rumah, menanamkan sejumlah nilai dan prinsip hidup pada anak tentu tidak harus melulu dengan metode nasihat satu arah. Selain berpotensi membosankan, juga akan memunculkan sindrome “resisten” alias “kebal” pada anak terhadap substansi nasihat yang disampaikan.
             
Berangkat dari pemahaman di atas, kiranya para guru dan orangtua bersedia menerapkan metode bermain pada anak-anak mereka sesekali waktu. Di sekolah misalnya, kenapa tidak guru mengajak anak-anak di ruangan belajar tempatnya mengajar untuk bermain bersama pada sesi pelajaran tertentu. Intinya, agar anak-anak didik lebih menyiapkan mental dan kemauan belajarnya. Kemudian di rumah, tidak ada salahnya jika para orangtua menerapkan sejumlah permainan mendidik pada anak-anak mereka―bila perlu melibatkan anak-anak lingkungan sekitar. Melalui bermain, semoga beberapa substansi nasihat yang ingin disampaikan lebih “mendarat” mulus di benak si anak. 

0 komentar:

Posting Komentar

Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More